Wednesday 21 January 2009

CERPEN ANDI BUDIARMAN

BOM
Karya Andi Budiarman
(Guru SMA Negeri 1Liliriaja Kab. Soppeng)

“Kalau mau kawin dengan Imina, cari uang sendiri!”
“Apa gunanya kau menuntut ilmu tinggi-tinggi memilih jodoh saja sembarangan!”
“Apa kau tidak tahu kalau Imina itu keturunan ata orang tua kita.”
Kalimat keempat belum muncul, Aku langsung belok kiri. Baru kali ini, telingaku membara. Rambutku seolah melayang tercabut dari serabutnya. Belum juga tiga langkah, Puangku memanggil lagi “Hei, Beddu dengar dulu saya mau bicara. Kamu makin kurang ajar saja!”
Aku berhenti melangkah bagai kaki kuda tersandung sentak terpaku.
“Duduk!”
Kursi rotan di samping Puangku, menganga menungguku. Perlahan kududuk di sampingnya.
Pecah gemuruh masih dalam debaran jantung. Membakar api meluap panas otakku. Aku terkurung pikiran tersudut tak berdaya. Cinta tiada bandingnya jadi beku kaku oleh desing kata-kata Puangku. Terpakulah suasana hening seketika. Yang menjalar keseluruh tubuhku hanya keringat dingin. Tubuhku rasa tak bertulang, remuk mendadak lumpuh.
“Mana Indokmu? Bikin air panas dulu!”
Aku tidak menyahut. Langsung saja ke dapur membuat secangkir kopi buat Puangku. Aku tahu benar kopi kesukaannya. Secangkir kopi pahit mengisyarat kelamnya pikiranku.
“Saya ingin mengawinkan kau dengan orang baik-baik. Anak Andi Mangkau masih keluarga dekat kita. Ia tamat perguruan tinggi juga. Menurutku cocok dengan kamu”
Masih bicara itu lagi. Aku tak bisa berkata apa-apa di depan Puangku. Sejak kecil aku tidak pernah membantahnya. Untuk masalah ini, rasanya mulutku hendak berkata, “Memangnya cinta bisa diformat?” Kubiarkan angin bertiup redah, kutunggu api meluap jadi redup.
“Beddu, bantu Indok membentangkan tali di bawah kolong rumah untuk jemuran!”
“Aku selamat dari desingan kata-kata Puangku”
Aku bangkit dari kursi rotan bergegas mengikuti arah suara Indokku . Puangku hanya terdiam mulut terkunci. Matanya melotot menyimpan isyarat sebuah jawaban yang tak muncul dari mulutku.
Gerimis di luar, dedaunan penuh rerintik butir bening air hujan. Indok ku berlari kecil mengambil jemuran yang berhamburan di tanah basah. Tiupan angin menyertai gerimis sore hari ini. Bunyi “plapak” daun kakao diterpa angin bagai bunyi tepuk tangan alam. Ini alamat baik, produksi kakao pasti meningkat. Puangku memiliki tujuh ha kebun kakao. Dua ha digarap oleh Ambo Mina. Sedang tiga ha lainnya yang masih kosong siap ditanami jagung.
Hujan yang lama dinanti kini tiba juga. Sorai suara gembira petani di desa, sebentar lagi mereka menyiangi ladang lalu menanam jagung.
Di ladang jagung, kala gerimis, kami berteduh di dangau. Di balik rambut terjurai wajah kutilik. Wajah pauh dilayang samar mengintai bagai bulan menyintip di balik rimbun pohon bambu. Senyum menghiasinya kala pandang kebetulan bertemu aku benar hanyut terbuai. Hatiku berdetak, kagumku berbuah kasmaran. Jatuhlah cinta itu padanya. Tak tahu ia rupanya. Kupendam dalam lubuk yang perkiraan tak menyentuhnya. Cinta kuukir diam biar indah mendalam. Tidak membuat ia luka jika harus bentangan tali ikatan terputus dihempas barubu.
Rerintik hujan ini, membalikkan kenanganku bersama Imina. Kutahu dari kecilnya ia anak halus sutera kata-katanya, tiada kata meluncur dari bibir tipisnya tanpa diawali iye Puang. Wajahnya tergolong cantik. Jika tersenyum tampak lesung pipi kiri bagai riak air memutar. Tahi lalatnya amat terang karena kulit putih bersih. Tahi lalat itu bertengger di dagu kiri pula.
Keluarganya bergubuk mungil di belakang rumahku. Dulu sampai sekarang hidupnya bertumpu pada keluargaku yang turun temurun memiliki ata. Mereka itulah ata dari keluargaku. Mereka sangat setia pada Puangku sehingga ikut bersama kami hijrah berkebun di tanah Poso.
Hujan kian lama semakin deras menjemput kelam. Kata-kata Puangku masih terdekap malam. Mata enggan terpejam. Murka amarah Puang masih mendesing. Desir angin mengantar bunyi bacing-pacing samar dari kejauhan. Redup pelita tampak timbul tenggelam oleh alangan dedaunan alang-alang. Rumah tak layak dikatakan rumah tempat Imina bersama ayah bundanya asal dari bunyi itu. Jika malam seperti ini, hujan tak redah. Ambo Mina lebih memilih meniup bacing-pacing kegemarannya. Konon kabarnya, karena kepintaran meniup bacing-pacing sehingga pihak Saoraja memanggilnya melengkapi musik tari-tarian istana. Akhirnya ia menetap di Saoraja menjadi pesuruh Datu.
“Imaddi, di sini sebentar”
“ Iyye, Puang, tunggu” jawab Indok ku.
Aku terpendam dalam kamar membisu. Lebih baik menikmati suara merdu bacing-pacing daripada melayani Puangku yang selalu menyoalmaksakan jodoh.
“Beddu kita nikahkan saja dengan Andi Tenri anak Andi Mangkau”
“Kalau Beddu mencintai dan Andi Tenri tidak keberatan, tidak ada salahnya” jawab Indok ku.
“Bagus, indok” aku berguman sendiri di dalam kamar. Aku menguping sambil mengacungkan jempol tanda setuju dengan kata-kata Indok ?
“Jadi, maksudmu?” lanjut Puangku.
“ Ya, terserah Beddu saja!”
“Oh, tidak boleh. Sekali lagi tidak boleh. Kamu mau kalau Beddu kawin dengan Imina?”
“Apa salahnya jika mereka saling mencintai.”
“Jangan lagi kauucapkan kata itu dua kali, Imaddi! Kitalah yang harus menentukan nasib anak kita. Saya tidak akan melihat mereka jatuh sengsara lagi pula derajat kebangsawanan saya turun sekali lagi.”
“Beddu kita sudah sekolahkan baik-baik. Dia sudah sarjana satu-satunya di desa ini. Lagi pula sudah dewasa. Berilah kebebasan untuk memutuskannya sendiri.”
“Memilih jodoh bukan urusan anak, Imadi! Kitalah yang patut mengarahkannya.”
“ Saya juga kan bukan dari keluarga bangsawan, kenapa Puang mau mengawini saya. Itu karena Puang jatuh cinta padaku ‘kan?” timpal Indok .
Puangku terdiam beberapa lama. Kudengar Indok beranjak dari tempat duduknya. Ditinggalkannya Puang sendiri di ruang tamu.

***
Kelam melingkar membalut gunung sebelah utara. Tampak samar dua orang berjalan meniti pematang. Obor di tangan masih menyala. Itulah Imina bersama Indoknya. Aku mengintip dari jendelah rumahku. Aku ingin membututi tapi tiada daya, badan rasa berat sekali seperti telah dipukuli.
“O, memang dipukuli oleh kata-kata Puang” Semalam tidurku tak pulas, pikiranku mengembara. Ikut kehendak Puang atau ikut hati nuraniku. Ada benarnya juga kata Puang bahwa keturunannya bakal turun satu derajat jika aku kawin dengan Imina. Satu pertanya yang tak pernah disentuh jawaban pasti. “Mengapa Puangku mau mengawini Imaddi yang jelas-jelas keturunan orang kebanyakan? Kemudian aku dipaksa menikah dengan orang yang tidak kucintai? Aku tahu juga kalau anak Andi Mangkau sedang pacaran dengan Adi, anak pedagang tembakau dari Cabenge Soppeng. Adi teman sekolahku. Lagi pula tak ada rasa cinta setitik pun yang dapat dipupuk membawa bunga mekar di taman hatiku.”
Sebelum fajar menyingsing, Imina bersama Indok nya menepis kabut, meniti hidup setapak demi setapak. Tidak berat rasa beban yang dijunjung dan tiada bosan jalan diarungi, semuanya dikerjakan setulus hati.
Jalan yang menghubungkan pasar dengan kampungku memang masih jauh dari kelayakan. Jika hujan sudah mulai turun maka lumpur pun mengembang bagai kue cucur di atas minyak panas. Imina dan Indok nya lebih memilih jalan pintas melalui pematang. Perjalanan satu jam barulah tiba di jalan raya. Imina melanjutkan perjalanan dengan mengendarai pete-pete selama sejam barulah mereka tiba di pasar Tentena.
Sejak tamat SLTP, Imina selalu menemani Indoknya berjualan sayur-mayur di pasar. Orang tuanya mengharapkan pendidikan pada jenjang SMA tetapi apa daya kemujuran tak berpihak padanya. Hasil petani penggarap belum mampu mencukupi hidup sampai menyekolahkan anak. Terlebih lagi sekolah jauh dari tempat tinggalnya.
Beda dengan Puangku, sekarang terpandang, boleh dikatakan kaya untuk golongan daerah ini. Dia sadar perlu pendidikan tapi sangat taat pada prinsip. Aku anak satu-satu bakal menjadi korban dari prinsipnya.
Aku membuntuti Imana dan Indoknya dari belakang. Kuambil motor trailku. Kodorong agak jauh dari rumah agar suara kerasnya tak terdengar Puangku. Motor ini, bebas melintas di atas jalan berlumpur sekalipun.
Imina dan Indok nya belum tiba di pasar, aku sudah sampai pada warung pojok. Tempat biasanya Imina beserta Indok nya istirahat. Kalau jualan sayurnya tidak habis, maka sisanya diberi kepada pemilik warung itu.
Pasar Tentena masih sepi. Cuaca dingin menggigil. Para penjual yang berjejer belum melepaskan sarungnya. Badannya dibiarkan terbungkus sarung sehingga yang tampak wajahnya saja. Bagi Imina itu tidak menjadi masalah, dua bulan terakhir ini tubuhnya yang ramping itu ditutupi jilbab besar.
“Sudah lama, Puang”
Aku dikagetkan suara dari belakangku.
“Baru juga, Mina!”
“Indo, jalan saja duluan. Ada Puang Bedduku di warung .”
“Temani saja, Puangmu dulu.” Biar Indoklah yang menyiapkan jualan ini.
Lama aku menyusun rasa, pikiran, dan kata. Tapi tak kudapati rangkaian kalimat yang tepat patut keberitahukan kepada Imina. Apakah aku akan berterus terang tentang peristiwa semalam. Ataukah akan bersiteguh hati akan prinsipku sendiri. Di dalam rentang saraf otakku tiada satu sel pun yang membenarkan perasaanku terjajah. Dalam ilmu mana pun menganggap manusia itu sama. Yang membedakan derajat hanya ciptaan budaya saja. Lebih lagi agama menyatakan semua muslim bersaudara.
“Puang, saya ke Indok dulu” Imina mengentakkan aku dari lamunan.
“Ada yang ingin saya bicarakan denganmu!” Imina terduduk kembali di depanku.
“Kita sudah dewasa. Kamu anak satu-satu. Aku pun anak-anak satu-satunya. Bagaimana pendapatmu jika keduanya kita satukan dalam kehidupan yang tertata oleh norma agama.”
“Apa maksud Puang. Aku tak tahu.”
“Begini, aku sangat mencintaimu. Kalau engkau bersedia kita lebih baik menikah saja.”
Suara orang di luar sudah mulai gaduh. Penjual pun mulai siap menjajakan jualannya. Pengunjung berdatangan dari pelosok desa. Imina masih terpaku di depanku tak mengeluarkan kata-kata. Aku pahami benar perasaannya. Untuk ini, ia tak mungkin menolaknya dan tak patut menjawabnya. Lebih jika hal itu diperhadapkan pada kedua orang tuanya. Mereka pasti takut memutuskannya kalau bukan dari keluarga kami yang mengaturnya. Segala kata pasti diperturutkannya.
“Berpikirlah dulu. Mina!”
“Permisi, Puang. Saya ke Indok dulu, Puang”
“Kita sama-sama ke sana!”
Kami berjalan mengikuti deretan toko di bagian depan Pasar Tentena. Di depan BRI kami berhenti sejenak. Adi teman sekolahku dulu memaksa kami berhenti.
“O, ini calonmu, yang kauceritakan dulu!”
Aku tersenyum saja. Imina tertunduk malu.
“Bagaimana dagangannya, kamu kelihatannya sudah seperti, Bos”
“Syukurlah berjalan dengan baik. Hei, datang nanti ya pada acaraku.”
“Kamu mau menikah?”
“Begitulah!”
“Kapan, dengan siapa, dimana?”
Adi belum menjawab. Kudengar ada gemerisik suara seperti seekor ular mengacak-acak daun kakao. Aku menoleh. Dihadapanku ada bunga listrik percikan api. Belum juga kami sempat berlari.
“Plak, plak… Boowom, om!” Sejap semua hancur.
“Ledakan itu, menghilangkan pandanganku. Aku tak tahu aku dimana. Spontan kudekap Imina kulindungi dari serangan yang tak kutahu apa namanya ini. Aku terkulai di tanah basah. Hidup atau matikah kami?”
Tidak ada orang yang berani mendekat. Mereka takut jangan-jangan ada ledakan bom susulan.
“Tolong itu, ada mayat berpelukan!” Teriakan orang itu tak dihiraukan. Mereka hanya menyelamatkan dirinya sendiri. Pasar jadi kacau, bagai ombak diacak badai.
Kira-kira setengah jam kemudian, polisi, pihak kesehatan, dan masyarakat mendekati tempat kejadian itu.
“Angkat dan pisahkan mayat ini!”
“Masih, hidup, Pak!” Seru juru rawat itu.
“Bergegas kedua korban dibawa mobil ambulans ke rumah sakit Poso.”
Satu jam kemudian kedua orang tua korban sampai di rumah sakit.
Puangku, tertunduk tak mampu menahan air matanya.
“Obati kedua pasien ini, semua biayanya akan kutanggung semua.” Kata Puangku.

Keterangan bahasa:
Puang: Sapa hormat kepada raja atau keturunan raja bagi orang Bugis
datu : Raja orang Bugis
Saoraja : Istana raja Bugis
bacing-pacing : Sejenis suling kecil terbuat dari bambu.
ata: budak
ambo: ayah
indok: ibu

Identitas Penulis
Nama : Drs. ANDI BUDIARMAN
Tempat Tanggal Lahir: Soppeng, 31 DESEMBER 1968
Alamat rumah : Jalan H.A. Mahmud 69 Cangadi Kab. Soppeng 90861
Telpon/H.P. : 081524047869
Asal Sekolah : Guru SMA Negeri 1 Liliriaja Kab. Soppeng
Alamat Sekolah : Jalan H.A. Mahmud 69 Cangadi Kab. Soppeng 90861
Telpon sekolah : 0484-421225

0 comments:


Post a Comment

MY FOLLOWER